Kunjungan ke Rumah Siti Gadis Tangguh Penjual Bakso

Diposkan oleh hafidh on Saturday, March 17, 2012

Kunjungan ke Rumah Siti Gadis Tangguh Penjual Bakso


PERJALANAN TIM SURVEY
Untuk mendapat gambaran lebih jelas tentang kondisi keluarga Siti dan kampung tempat tinggalnya, Rumah Zakat mengirim tim relawan untuk melakukan survey ke sana. Dengan berboncengan naik motor, berangkatlah 2 orang pada hari Jumat, 9 Maret 2012, jam 10 pagi. Adalah Pak Zainuddin dan Mas Ahmad yang diutus mencari tahu kampung Siti. Pak Zainuddin adalah orang yang mengkomandani program pendidikan dan pemberian bea siswa anak asuh di Rumah Zakat kota Cilegon. Sedangkan Mas Ahmad Mu’tazim, relawan berusia muda ini memang orang tepat untuk melakukan “pemotretan” peta kondisi demografis dan kultural. Saya kagum dengan detilnya ia menangkap banyak hal-hal kecil yang perlu untuk tindak lanjut aksi sosial. Maklumlah, di usianya yang baru menginjak 24 tahun ini Mas Ahmad sudah malang melintang di medan aksi di Damaskus, Syiria, Lebanon, Palestina, Turki, Mesir, Arab dan negara lainnya. Ia bahkan sempat membantu relawan yang akan ikut kapal Mavi Marmara.
Sebelumnya berangkat, Pak Zai dan Mas Ahmad sudah menghubungi Pak Tono – contact person yang dicantumkan di situs FB Orang-Orang Pinggiran Trans7 – untuk diminta menjadi penunjuk jalan. Sayangnya Pak Tono hari itu tidak bisa mengantarkan, hanya memberi ancer-ancer. Akibatnya, kedua relawan itu sempat tersasar ke desa lain yang kebetulan namanya mirip. Tanya sana sini puluhan kali, bahkan sempat terdsasar ke rumah anak bernama Siti yang lain, yang kebetulan ortunya jadi TKI di Arab.

Mereka baru sampai di rumah Siti hampir jam 6 sore, jelang maghrib. Kesempatan ini benar-benar digunakan oleh tim relawan untuk berbincang dengan Siti dan Ibunya, ikut sholat berjamaah di masjid kampung itu bersama warga sekitar dan tentu saja sowan ke rumah Pak Lurah yang katanya masih terhitung kerabat dengan Siti. Karena Siti dan Ibunya tak bisa menjawab dengan bahasa Indonesia, sedangkan tim relawan yang dikirim tak bisa berbahasa Sunda, jadi perlu ada penterjemah. Pak Lurah dan tetangga terdekat Siti yang menjadi translater.

Tim relawan memaksimalkan sepanjang petang dan malam itu, untuk menggali sebanyak-mungkin info yang dianggap penting.Malam itu mereka menginap di rumah Pak Lurah dan sepanjang malam ngobrol dengan Pak Lurah. Kedua Tim baru pulang keesokan paginyta setelah Siti berangkat sekolah. Sabtu, jelang jam 12 siang, mereka baru tiba kembali di kantor Rumah Zakat Cilegon.

HASIL SURVEY DAN PEMETAAN KONDISI
Tak lama setelah tim survey tiba, saya sampai di Rumah Zakat dan disambut oleh Pak Iwan, Branch Manager Rumah Zakat Cilegon, Mas Otong – orang yang berkali-kali saya “cerewetin” via telepon sejak saya punya ide untuk membantu Siti, tapi baru kali itu saya temui, Pak Zainuddin dan Mas Ahmad serta beberapa orang lainnya, yang rata-rata anak muda dengan idealisme tinggi.

Pertama saya dikenalkan dengan 4 program Rumah Zakat. Ada Senyum Juara yang bertekad mengantarkan anak-anak tak mampu untuk meraih masa depan lebih baik melalui pendidikan. Ada pula Senyum Sehat yang bergerak melayani masyarakat kurang mampu untuk mendapatkan akses kesehatan gratis, juga memberikan bimbingan sadar gizi dan perbaikan gizi melalui pemberian kornet Super Qurban. Ada pula Senyum Mandiri yang punya misi mengangkat taraf hidup warga miskin sampai mereka mampu mandiri dan punya penghasilan. Terakhir adalah Senyum Lestari yang turut berkontribusi dalam melestarikan lingkungan hidup serta meringankan beban sesama yang dalam kesulitan. 3 Program yang pertama disebut itulah yang akan kami implementasikan dalam kasus Siti dan kampungnya.

Apa yang ditayangkan Trans7 tentang kehidupan Siti memang begitulah adanya. Hanya satu hal yang diprotes Pak Lurah : soal ketiadaan makanan di rumah Siti. Kata Pak Lurah, kalau makanan sebenarnya masih ada,meski sangat seadanya. Tapi benar adanya bahwa Siti berjualan bakso keliling kampung dengan upah Rp. 1.000,- - Rp. 2.000,-. Bakso diambil dari rumah tetangganya yang hanya berjarak 3 rumah dari rumah Siti. Ibunya buruh cangkul yang hanya bekerja jika ada yang meminta jasanya, dengan upah Rp. 20.000,-seharian. Kalau tak ada yang menyuruhnya mencangkul, ya tak ada penghasilan. Terkadang memang upahnya dijanjikan baru dibayar jika panenan berhasil.
Ketika ditanya adakah ketrampilan lain yang dimiliki wanita usia 45 tahun ini, Ibu Siti bingung. Ia sama sekali tak punya kebisaan lain selain menyabit rumput dan mencangkul. Fisiknya yang kelihatan lebih tua dari usianya membuat kami ragu sampai kapan ia kuat melakukan pekerjaan fisik kuli yang lebih cocok dikerjakan lelaki muda. Pun ketika ditanya apakah ingin berjualan sesuatu, Ibu Siti juga tak tahu harus berbuat apa. Bahkan ketika ditawarkan untuk diajak ke Jakarta dan tinggal bersama keluarga asuh, mereka menolak. Mungkin ketidakbisaannya berkomunikasi dengan bahasa Indonesia, membuat mereka ragu meninggalkan kampungnya.

Sampai hari itu, Ibu Siti mengaku belum ada bantuan yang ia terima. Tim relawan juga tak melihat ada barang baru di rumah Siti. Meski sudah 2 kali masuk TV – OOP di Trans7 dan berita di Reprotase Trans TV – katanya pihak TV masih menjanjikan akan mengirim uang bantuan melalui transfer. Untuk acara OOP sendiri perlu waktu 2 hari pengambilan gambar meski durasi tayangnya hanya 30 menit dikurangi iklan. Tim relawan melihat semua baju main, seragam sekolah, sepatu dan tas yang dipakai Siti semuanya barang bekas pakai pemberian tetangga, yang kondisinya sudah lusuh dan pudar warnanya. Jilbab Siti cuma punya sebuah. Bahkan buku tulis pun hanya 1 saja untuk semua mata pelajaran.

Sebenarnya Siti punya 2 kakak yang sudah dewasa dan sudah menikah serta tinggal di kampung lain. Seperti umumnya orang kampung, jika telah berkeluarga, mereka memikirkan keluarganya sendiri sehingga tak sempat membantu ibu dan adiknya. Ayah Siti sendiri meninggal tahun 2007 karena sakit di usia tuanya. Ibu Siti adalah istri kedua, karena istri pertama sudah tiada. Ketika menikah dengan ibu Siti, usia Bapaknya memang terpaut jauh, hampir 2x lipat umur Ibunya. Ketika Siti lahir, usia Ibunya sudah hampir 40 tahun dan Bapaknya hampir 70 tahun. Pak Lurah memang sudah mengkhawatirkan masa depan Siti. Tapi inilah suratan takdir. Berjodohnya Ibu dan Bapak Siti di usia lanjut tentu tak luput dari takdir Allah. Dan ternyata apa yang dikhawatirkan Pak Lurah jadi kenyataan, begitu Bapak Siti meninggal, Ibunya tak tahu harus berbuat apa.
Pak Lurah sendiri meski terbilang masih kerabat dengan Siti, seperti tak berdaya menghadapi kultur masyarakat setempat. Menurut Pak Lurah, disini semua hal bisa dikomersialkan. Jika ada warga yang meninggal dunia, “shohibul musibah” atau keluarga yang ditinggalkan justru bingung cari uang. Sebab orang-orang yang memegangi mayat, memandikan mayat, mengkafani, mensholati, menggotong dan menguburkan mayat, semuanya minta bayaran. Bahkan untuk mendatangkan orang berdoa tahlilan selama 7 hari pun keluarga yang meninggal harus menyediakan uang bayaran. Kalau tak punya uang, mereka harus berhutang.

Di daerah itu ada 3 kampung yang berdekatan. Di kampung Siti sendiri ada 2 masjid meski kecil. Kata Lurah, untuk mengadakan pengajian dalam event-event tertentu pun mereka harus menyediakan bayaran bagi orang-orang yang mau mendatangi pengajian. Bahkan pernah 3 kampung ini berkolaborasi mengadakan pengajian Mauludan untuk mendatangkan ibu Ratu Atut Chosiyah, Gubernur Banten, untuk itu warga rela iuran Rp. 500 ribuan. Kalaupun didirikan Yayasan, itupun akan dikomersialkan.

Sedangkan warga sendiri, menurut Lurah tingkat kesadaran akan kesehatan dan kebersihan masih sangat rendah. Untuk MCK, jarang warga yang memilikinya. Termasuk Siti, untuk mandi saja numpang ke rumah tetangga. Sekitar 2,5 km sebelum rumah Siti, mobil sudah tidak masuk karena harus melalui jembatan kayu yang mengkhawatirkan dilalui mobil. Kabarnya kru TV pun harus menggendong peralatan mereka. Selanjutnya berjalan kaki melalui jalanan naik-turun berbatu-batu dan berlumpur tebal kalau hujan sebentar saja. Ketika melalui jalanan itu, kami hanya melihat 1 unit waterwell yang digunakan untuk suply air bagi warga yang tak kebagian aliran air bersih. Tapi jaraknya masih terlalu jauh untuk bisa menjangkau rumah Siti.

Listrik di rumah Siti pun mengambil arus listrik dari tetangga. Dan karena tarif listrik yang dibayarkan tetangga Rp. 50.000,- maka Ibunya Siti dikenai biaya Rp. 25.000,-/bulan meski hanya untuk 2 bohlam lampu. Pasar di situ sangat jauh letaknya, itupun hanya ada seminggu sekali yang bisa dijangkau warga. Jangan tanya Puskesmas, letaknya puluhan kilometer jauhnya dari kampung itu, kami melewatinya kemarin. Tak heran jika ada warga yang sakit, kesulitan berobat. Intinya : secara fisik dan demografis, desa ini memang sangat sulit dijangkau dan jauh dari infrastruktur penunjang kehidupan layak. Dengan kondisi seperti ini, saya dan Tim Rumah Zakat perlu putar otak agar amanah bantuan dari pembaca Kompasiana dan teman-teman saya tidak salah sasaran dan tepat guna pemanfaatannya. Saya akan paparkan di tulisan selanjutnya.


Sumber. sosbud.kompasiana.com

{ 0 komentar... read them below or add one }

Post a Comment